kaukah yang mengirim
bertangkai-tangkai bunga
di samping tidurku
sampai wanginya mengalir dalam darah
dan membuatku berbunga-bunga
. :tapi aku tak tahu
“………… aku belum sepenuhnya sadar mengakhiri mimpi-mimpi ketika engkau mengalir dengan ceritamu, sendirian! menumpahkan segala derita, setelah semalaman menahan orgasmemu, orgasme hujan. pada bunga-bunga engkau bercerita, pada dingin kau tumpahkan. mataharipun tak engkau ijinkan menyapa burung-burung …………”.
meskipun debur ombak mengirim buih penuh limbah
unggas laut sudah tak doyan ikan
atau sampah plastik menjadi lipstik pantai ini
aku tetap memunguti kata-kata dalam buku puisi ini
katakan padaku tentang lautmu yang biru
yang selalu membuat hatimu risau
katakan padaku tentang gejolak ombak
yang selalu membuat jantungmu berdetak retak
aku mendengar berita di radio
tentang fluktuasi harga-harga sembako
yang semakin tak terjangkau
tapi aku tak lagi risau
sebab berapapun harganya
aku tak bisa menjangkau
aku tetap saja mengigau
aku hanya ingin menyeruput kopi
juga menulis sebait puisi di lautmu
dan melarungkan rinduku pada rindumu
biar laut di dada ini tak terus-menerus bergemuruh!
“………. aku tetap tegar meski rel-rel cintaku kau lindas dengan gerbong
cintamu hingga melengking-lengking menyayat-nyayat menjerit-jerit dan
engkau terus melaju, sementara aku masih menikmati sakit bersama
lampu-lampu muram dan tiang-tiang listrik karatan, ah…..cintamu memang
seharga karcis peron ……..”
kemarin aku sudah bicara denganmu
bahwa ketika pemilu yang lalu
aku enggan menghadiri coblosan
bukannya aku tak peduli keadaan
tapi karena pemilu membuatku semakin pilu
dengan pemilu dunia memang semakin ramai
namun tidak bertambah damai